Demensia meningkat di seluruh dunia. Pelajari faktor risiko, pencegahan, dan inovasi riset terbaru untuk deteksi dini dari berbagai studi internasional.

Demensia adalah gangguan otak progresif yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif, mulai dari daya ingat, kemampuan berpikir, hingga kemampuan berkomunikasi. Alzheimer’s disease menjadi penyebab paling umum, menyumbang 60–80% kasus demensia global.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat 50 juta orang hidup dengan demensia saat ini, dan angka tersebut diperkirakan melonjak menjadi 152 juta pada 2050. Setiap tahunnya, muncul 10 juta kasus baru, dengan 6 juta di antaranya berasal dari negara berpenghasilan rendah dan menengah. Di Indonesia, prevalensi demensia cukup tinggi, terutama di Jawa dan Bali, dan lebih dari 4,2 juta orang saat ini hidup dengan kondisi tersebut. Demensia akibat Alzheimer bahkan menyumbang hampir 28% dari total kasus.

Selain membawa dampak sosial dan psikologis, demensia juga menimbulkan beban ekonomi yang besar. Total biaya perawatan langsung hingga hilangnya produktivitas diperkirakan mencapai 1,3 triliun dolar AS setiap tahun.

Demensia meningkat di seluruh dunia. Pelajari faktor risiko, pencegahan, dan inovasi riset terbaru untuk deteksi dini dari berbagai studi internasional.

Peran Keluarga dan Tantangan Pendamping Demensia

Dalam banyak kasus, keluarga menjadi pilar utama dalam merawat penyandang demensia. Melalui focus group discussion (FGD) bersama Alzheimer Indonesia (ALZI), ditemukan bahwa 54% peserta merupakan pendamping utama anggota keluarga yang hidup dengan demensia. Temuan ini menunjukkan besarnya kontribusi keluarga, sekaligus menggambarkan tantangan berat yang dihadapi para pendamping muda yang harus membagi waktu antara merawat, bekerja, serta melanjutkan pendidikan.

Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi

Meski identik dengan penuaan, demensia tidak semata-mata disebabkan oleh usia. Penelitian terbaru Monash University berjudul “The Hunt for Dementia’s Hidden Clues” menemukan bahwa tanda-tanda awal demensia sering kali tidak disadari dan dapat muncul sejak usia 40-an.

Penelitian yang dipimpin Professor Matthew Pase dari Ageing and Neurodegeneration Research Program, Monash University, menunjukkan bahwa hingga 50% kasus demensia sebenarnya dapat dicegah melalui pengelolaan faktor risiko sejak dini.

“Karena belum ada obat untuk demensia, memahami faktor risiko dan faktor pelindung otak menjadi sangat penting,” ujar Profesor Pase.

Berdasarkan laporan The Lancet Commission (2024), terdapat 14 faktor risiko demensia yang dapat dimodifikasi, meliputi:

Faktor kesehatan

  • Cedera otak

  • Gangguan pendengaran

  • Hipertensi

  • Diabetes

  • Gangguan penglihatan yang tidak ditangani

  • Kolesterol tinggi

Faktor gaya hidup

  • Pendidikan rendah pada masa kecil

  • Isolasi sosial

  • Polusi udara

  • Kurangnya aktivitas fisik

  • Merokok

  • Konsumsi alkohol berlebihan

  • Stres kronis

 

Salah satu faktor pencegahan penting adalah kualitas tidur. Penelitian Pase menunjukkan bahwa penurunan fase deep sleep sebanyak 1% per tahun pada lansia dapat meningkatkan risiko demensia hingga 27%. Deep sleep berfungsi menghilangkan limbah metabolik di otak, termasuk protein penyebab Alzheimer.

Data riset ASPREE-XT dari Monash University juga mengungkap indikator fisik sederhana seperti kecepatan berjalan dan kekuatan genggaman tangan sebagai penanda awal risiko demensia sebelum gejala kognitif muncul.

Selain itu, Professor Joanne Ryan menemukan bahwa aktivitas mental seperti menulis jurnal, mengikuti kelas, atau mengerjakan teka-teki dapat mengurangi risiko demensia hingga 9–11%, sementara aktivitas kreatif seperti merajut dapat menurunkan risiko sekitar 7%.

Inovasi Teknologi untuk Deteksi Dini Demensia

Untuk mengurangi dampak global demensia, Monash University mengembangkan sejumlah pendekatan multidisipliner yang menggabungkan teknologi dan riset neurosains.

Dalam riset internasional yang dipimpin Professor Adeel Razi, teknologi functional MRI (fMRI) mampu memantau perubahan jaringan otak pada default mode network (DMN)—area yang sangat berhubungan dengan fungsi kognitif. Teknologi ini terbukti dapat memprediksi risiko demensia hingga 9 tahun sebelum diagnosis, dengan akurasi lebih dari 80%.

Sementara itu, Dr. Taya Collyer dari National Centre for Healthy Ageing tengah mengembangkan metode kecerdasan buatan berbasis Natural Language Processing (NLP) untuk memetakan jumlah kasus demensia secara lebih akurat. Pendekatan ini penting bagi pemerintah dan otoritas kesehatan untuk merancang alokasi sumber daya serta layanan pendukung yang efektif.

Masa Depan Deteksi dan Pencegahan Demensia

Melalui rangkaian riset lintas disiplin, Monash University terus memperluas pemahaman global tentang demensia—mulai dari faktor risiko, mekanisme biologis, hingga strategi intervensi dini yang efektif. Upaya ini membawa harapan baru agar deteksi dini dan pencegahan dapat dilakukan jauh sebelum gejala muncul, sehingga kualitas hidup para lansia dan keluarga yang merawat mereka dapat meningkat.

(Rutinitas Media)